Powered By Blogger

Monday 12 September 2016

Historical Flashback of West Papua 2016 Versi Bahasa Indonesia

Deklarasi 1 Desember 1961 di Manokwari, West Papua
Mengapa orang Melanesia di Papua Barat masih berjuang atas hak politik mereka untuk menentukan nasib sendiri?

Karena ada memiliki sejarah
atas Pulau Papua dan juga penduduk asli Papua Barat telah hidup lama di Pulau Papua dari abad ke abad pada kehidupan manusia.

Untuk lebih jelasnya, kami mengundang Anda bisa mempelajari semua materi sejarah
yang kita tulis dalam artikel tentang Hostorical Flashback of Papua Barat pada halaman berikutnya. Silahkan Pelajari !!!


A. Penemuan Pulau Papua dan Pemberian Nama

Menurut sejarah Kuno, pada masa-masa kerajaan, bahwa Papua pernah dikunjungi oleh pedagang China pada abad ke 14, dan menamai pulau Papua dengan nama TUNG-KI atau JANGGI. Kemudian, Papua telah diperkenalkan oleh Pedagang China kepada Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Indonesia pada abad ke 13 dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, Indonesia pada abad ke 14.

Menurut sejarah KUNO bahwa Papua juga telah tercatat dalam Kitab Negara-Kertagama, dibawah kekuasaan Raja Majapahit pada tahun 1365, dimana Raja Mpu Prapanca membangun jalur-jalur perdagangan dan dapat memberikan dua bagian wilayah orang Papua yaitu, ONIN dan SERAN dengan maksud untuk mudah control dari Jawa. Disamping itu kerajaan Islam pertama didirikan di WAIGAMA Kepulauan Misol pada tahun 1350, sebagai jalur perdagangan dengan Arab. (Hubungan tidak tetap dan terbatas).

Selanjutnya, dalam tahun 1511 Papua telah dikunjungi oleh Antonio 'de Abreu, dan menamai pulau Papua dengan nama 'Ilha de Papoia'. Kemudian diikuti oleh Radriguez dalam tahun 1517.

Selanjutnya, dalam tahun 1521 Antonio Pigafetta seorang Rekor Dunia atas Megallan’s Epic World atau seorang pemenang navigator laut dalam perjalanan jauh telah menerima informasi tentang Papua, disamping memuat rempah-rempah di Ternate bahwa ada Raja yang namanya RAJA PAPUA, yang sangat berkasa serta kaya dengan emas dan hidup di dalam Pulau itu.

Selanjutnya, pada tanggal 20 Juni di tahun 1545 pulau Papua di kunjungi oleh ”Ynigo Ordize de Retes”, seorang pelaut berkebangsaan Spanyol pada, saat dia mengelilingi dunia sambil mencari rempah-rempah, dari ternate menuju Meksiko melalui jalur Pasific dan singgah di Muarah sungai Mamberamo dan menamainya dengan nama Nova Guinea. Setelah Ynigo kembali ke Eropa, membuat laporan atas penemuannya. Kemudian para Ilmuwan memplotnya dalam peta Dunia, dan memberi nama Pulau Papua menjadi New Guinea pada tahun 1569.

Nama ini berdasarkan hasil temuan Ynigo, atas ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa Papua yang ada kesamaannya dengan orang-orang di Guinea, benua Africa. Resource: Encylopaedie van Nederlandsch Indie (Tentang Papua).

Selanjutnya, nama ini diplot lagi dalam peta Dunia menjadi dua bagian, sesuai pembagian wilayah dari dua colony, yaitu Belanda dan Inggris. Kemudian setelah Belanda mulai menguasai Papua dari tahun 1908, nama Papua diplot lagi  menjadi West Nederlands New Guinea di bagian Barat (dibawah kekuasaan Belanda) dan Papua New Guinea di bagian Timur dibawah kekuasaan Inggris.

Nama ini bertahan hingga tahun 1963, dimana Belanda tinggalkan Papua Barat dan Indonesia mulai melakukan pendudukan di Tanah bangsa Papua melalui INVASI MILITER besar-besaran, dengan jalan membumi-hanguskan lingkungan hidup penduduk pribumi serta membunuh dan menghilangkan paksa nyawa orang pribumi dari bangsa Papua, yang sebenarnya melanggar Hak-Hak Asasi Manusia dari Bangsa Papua di bagian Barat Pulau Papua.  

Selanjutnya, hubungan politik dengan Sultan Tidore resminya dalam tahun 1649 pada masa VOC (Dutch Indies Company) atas pembagian laut Tidore. Untuk menghalau VOC, Sultan Jamaluddin memintah bantuan kepada Mambri Kurabesi. Kurabesi adalah seorang pemimpin perang yang terkenal dari pulau Waigeo, Papua. Kurabesi berangkat dengan 24 perahu perang, dibawah komandonya dan berhasil menghalau VOC.

Selanjutnya, pada tanggal 24 Agustus 1828, Pemerintah Belanda telah memproklamasikan bahwa Papua adalah teritorial colony-nya, dan mulai membangun pos perdagangan di Manokwari. Nama pos tersebut adalah ” Fort du Bus”.
Dengan Demikian, maka tidak ada hubungan dengan Indonesia. Klaim Indonesia atas Papua adalah pembohongan. Mengapa? Karena fakta historisnya tidak terbukti. Yang dimaksud adalah: Prasasti Hubungan Indonesia Melalui Penyebaran Agama Islam, yang selalu Indonesia kobar-kobarkan, sama sekali tidak ada pembenaran. 

Dari hasil temuan para ahli-ahli ilmuwan dunia di atas, maka memberikan dukungan penuh bahwa Papua adalah Papua yang belum pernah tersentu oleh siapapun manusia di Dunia, sebelum Ynigo Ordiz de Retes dan Missionaris berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geisler) datang di atas tanah Bangsa Papua pada tanggal 5 February 1855.

Selengkapnya, silakan membaca buku-buku sejarah Papua yang telah dubukukan oleh kaum intelek orang Papua benar dan bukunya Prof. Pieter J. Drooglever dengan judul ”West Papua An Act of Free Choice.

Globe Map of World
 B. Kedatangan Missionaris Eropa di Papua Barat

Pada tanggal 5 February 1855, dua orang Missionaries, berkebangsaan Jerman (Ottow dan Geissler) menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari-Papua, dan berkomitmen bekerja untuk melayani umat Tuhan di Tanah Papua. Ottow dan Geissler, telah melakukan missi penginjilan di Papua dari tahun 1855 sampai tahun 1894 (39 tahun). Kemudian mereka menutup pos penginjilan di Papua, karena Belanda telah menguasai perdagangan di Papua. Dan injil Kristus tetap dilanjutkan oleh orang-orang Papua Asli, yang telah menerima Injil Kristus sebagai Juru Selamat sampai kini.

Pad tanggal 16 Mei 1895 Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Kerajaan Inggris telah membagi Pulau Papua menjadi dua bagian, dengan garis (Lat. 141ΓΈ 1' 47"), di Gravenhagen-Netherlands. Pembagian ini dengan memberikan tanggung jawab masing-masing kepada kedua Negara yaitu, di Bagian Barat pulau New Guinea kepada Pemerintah Belanda dan di bagian Timur pulau New Guinea diberikan kepada Pemerintah Australia.    
Misionari Eropa di Papua Barat, 1855 sampai 1963 (Photo di Wisel Meren Enarotali, Paniai Papua)

C.         Kehadiran Belanda di Papua Barat

Setelah Pelayanan Missionaris Jerman (Ottow dan Geissler), Belanda telah membagun perluasan pos-pos perdagangan di Papua. Dengan demikian Belanda benar-benar menguasai bagian Barat pulau New Guinea.

Dalam tahun 1898 Parlemen Belanda membagi Papua Barat, yang mana merupakan dibawah control juristisi Garesidenan Maluku kedalam dua bagian distrik dengan menamainya menjadi New Guinea Utara (North Coast) dan New Guinea Selatan (West & South Coast).

Pos perdagangan yang telah dibuka di Manokwari dalam tahun 1894 dapat dirobah menjadi pos Pemerintahan dalam tahun 1901 untuk afdeling New Guinea Utara, pos lainya di Fakfak untuk Updeling New Guinea Selatan.

Dalam tahun 1902, New Guinea Selatan di bagi lagi menjadi dua bagian yaitu, Updeling New Guinea Barat (Fakfak) dan Updeling New Guinea Selatan (Merauke). Karena Belanda membagi Papua Barat sedemikian, maka Hak Tidore menuntut pembayaran kompensasi kepada Sultan Tidore senilai f 6.000.

Dalam tahun 1903, Pemerintah Kerajaan Belanda telah mulai melakukan kolonisasi di wilayah Papua Barat. Pertama, melalui pengiriman orang-orang Jawa ke Merauke untuk menetap disana. 

Dalam tahun 1904, Pemerintah Hindia Belanda telah melakukan kontak hubungan teritorial dengan penelitian di Papua Barat dan menyimpulkan bahwa hubungan antara Sultan Tidore dan Papua Barat merupakan sebatas teoritikal, (H. Colijn, 1907:13). HOLLANDIA (sekarang Jayapura) yang mana telah menjadi terpenting dalam perang dunia II, telah dimekarkan menjadi Sub Distrik (Sub Afdeling) New Guinea Utara (Manokwari).

Mengikuti isu Partai Komunis Indonesia di Jawa dan Sumatra dalam tahun 1926/1927, Pemerintah Hindia Belanda dari komplitkasi 1.308 dengan 823 keluarga telah di penjarakan dan telah dikirim oleh Gubernur de Groeff ke Camp, Penjara Digoel di Tanah Merah dekat Merauke. 

Pada tanggal 28 October tahun 1928, di Batavia Organisasi Pemuda Indonesia telah dapat melakukan sebua ikrat yang disebut ”Sumpah Pemuda Indonesia”. Dalam Sumpah Pemuda Indonesia ini, yang termasuk Indonesia adalah: Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lain pulaunya. Papua tidak termasuk dalam Sumpah Pemuda Indonesia, maka cecara otomatis Papua tersendiri dari Indonesia atau bukan Indonesia. Fakta ini membuktikan bahwa orang Papua tidak memiliki hubungan sama sekali dengan orang Indonesia.
Dalam tahun 1931, Belanda mulai melakukan explorasi Minyak di Papua Barat. 

Pada tahun yang sama, dalam laporannya oleh wakil Kerajaan Belanda untuk Maluku ditujukkan kepada Pemerintah di Batavia (JAKARTA sekarang) dan B.J. Hoga bahwa orang-orang pribumi Papua Barat bukan bagian dari TIDORE, dan berkonfirmasi kepada wakil Kerajaan Belanda di Maluku bahwa haya Raja Ampat, Onim dan Kaimana (J.M.J, Brantjes, 195:26). Dengan demikian, maka klaim Tidore atas Papua Barat tidak terbukti.  
  
Dalam tahun 1935, Pemerintah Jepang mulai melakukan aktivitas Intelejen pada pra Perang Dunia ke II di Papua Barat, melalui agen perusahaan komersial. Nama Perusahaan dimaksud adalah ” Nanyo Kahatsu Kabushiki Koisha” di Manokwari. 

Belanda di Papua Barat 1909-1963
Pada tanggal 09 Maret 1942, Papua Barat telah di invasi dan pala Tentara Jepang memulai melakuka Perang Dunia II di territorial ini. Jepang telah melakuka pendudukan selama dua tahun di Papua Barat.
Pada tanggal 30 July 1944, Allied Forces di bawah Komando Gen. MacArthur menyerang pala tentara jepang dengan penuh kekuatan di Sausapor, Werur, Amsterdam dan Pulau Middleburg dan sekaligus mengakhiri pendudukan Jepang di Papua Barat, satu tahun sebelum orang Indonesia memproklamasikan kemerdekaan mereka. Mengikuti penyerahan Jepang, Administrasi Cipil di Papua dengan segera transfer untuk control kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA) oleh Allies. Kesimpulannya, pasukan Amerika yang dipimpin oleh MacArthur ini telah membantu sekutunya (Belanda).  
Photo Belanda Pernah Membina Orang Papua 1909-1963

D.   The United Nations Organization

On April 25, 2945, the Conference opened at San Francisco. More than 200 delegates from 50 nations assembled at the War Memorial Opera House, with the US Secretary of State, Settinius in the chair. After two months of labor, The Charter Of the United Nations was completed. It was to come into force when ratified by the United States, Great Britain, Russia, France, and China. On June 26, 1945, President Truman made the closing speech in San Francisco, and sent the Charter to the Senate on at once. On July 28, 1945, the Senate ratified the Charter with decisive vote of 89 to 2. One of the purposes fo the UN is 'to develop friendly relations among nations based on respect for the principle based on EQUAL RIGHTS and SELF-DETERMINATION,' as specifically stipulated in Article 73 (a) and (b) of the Charter.

Explanation (Penjelasan):

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua Barat

-      Dalam Konferensi Internasional di San Fransisko pada tanggal 25 April 1945, yang di hadiri 200 delegasi dari 50 Negara telah membuat pernyataan dan melengkapi Badan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Disana telah memberikan kewenangan khusus kepada lima Negara Anggota PBB, sebagai pemekang Hak Veto. Negara-Negara yang dimaksud adalah: Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, Russia, Francis dan China.

-      Pada tanggal 26 Juni 1945, Presiden Truman membuat pembicaraan tertutup di San Fransisko, dan mengirim hasil pernyataan yang telah ditetapkan pada tanggal 25 April 1945 di atas kepada Senat Amerika Serikat sekali. Pada tanggal 28 Juli 1945, Senat Amerika telah dapat meratifikasi pernyataan ini dengan 89 suara. Satu pemahaman bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa membagun dasar hubungan persahabatan antar Bangsa-Bangsa dengan respek untuk prinsip yang mendasar atas Hak-Hak yang sama dan Penentuan Nasib Sendiri, terlebih khusus kondisi Negara dalam article 73 (a) and (b) pada pernyataan ini.

-      Bagian ini adalah menjadi landasan Hukum Positif bagi perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia di muka bumi, yang mana merupakan tanggung jawab Individu serta lembaga-lembaga swasta dan terutama Pemerintah dalam Negara. 
              
Kehadira (Intervensi) PBB di Papua Barat 1961-1969
E.      United Nations Decolonization Program

As a realization of Article 73 (a) and (b) of the Charter, upon UN General Assembly's request, a colonial territorial assessment was carried out in 1946 by eight states (Australia, Belgium, Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK and the USA). Based on the assessment 72 (seventy two) colonies throughout the world were formally declared by the United Nations as 'NON SELF-GOVERNING TERRITORIES,' including West Papua, which had to be DE-COLONIZE. As a result, the UNGA adopted Resolution 66 (1) of December 14, 1946, containing a de-colonization list. Based on the above resolution, immediate preparatory steps toward independence of the colonies were taken by the colonizing states under control of the United Nations. A number of UNGA Resolutions were adopted in this regard respectively afterwards.
In the South Pacific region, conducted in Canberra in 1947. The South Pacific Commission. The SPC was initially aimed to establish and strengthen international cooperation in promoting advancement of the well-being of the peoples in the South Pacific Islands in general preparation toward eventual self-determination, in line with the UN Decolonization program.

Explanation (Penjelasan):

Prorgam De-Kolonisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

-     Berhubungan dengan article 73 (a) dan (b) dalam Konferensi tanggal 25 April 1945, Majelis Umum PBB memitah kepada Negara-Negara agar segera keluar dari teritorial Colonial dalam tahun 1946. Permintaan Majelis Umum PBB ini terutama kepada 8 Negara anggota PBB seperti, ” (Australia, Belgium, Denmark, The Netherlands, New Zealand, UK and the USA)” untuk menjadi Hakim dan contoh bagi Negara-Negara Colonial lain. Tujuh puluh dua (72) daerah jajahan harus keluar dari penjajahan dan diberikan kemerdekaan penuh, sesuai Deklarasi PBB atas wilayah-wilayah tak berpemerintahan, termasuk Papua Barat, yang mana masih dalam de-colonisasi. Hal ini atas hasil, adopsi resolusi 66 (1) Majelis Umum PBB (UNGA) tertanggal  14 Desember 1946 berdasarkan daftar de-colonisasi PBB.
-      Berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB di atas, maka Pemerintah Belanda telah dapat melaksanakan persiapan Negara Papua. Hal ini telah dapat terbukti dari upacara perdana, bersama antara Pemerintah Belanda dan wakil-wakil bangsa Papua yang berdomisili di bagian Barat pulau New Guinea pada tanggal 1 Desember 1961.
-      Selengkapnya akan dapat dijelaskan pada bagian huruf G dan H, oleh karena itu para pembaca diberikan kesempatan agar menyesuaikan diri dan dapat di pelajarinya.
      
F. Declaration on the Granting of Independence to the Colonials Countries and Peoples. A/RES/1514 (XV) 14 December 1960

The General Assembly

Mindful of the determination proclaimed by the peoples of the world the Charter of the United Nations to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women, and of nations large and small and to promote social programs and better standards of life in larger freedom,
Conscious of the need for the need for the creation of conditions of stability and well-being and peaceful and friendly relations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of all peoples. and of universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language or religion,
Recognizing the passionate yearning for freedom in all dependent peoples and the decisive role of such peoples in the attainment of their independence,
Aware of the increasing conflicts resulting from the denial or of impediments in the way of the freedom of such peoples, which constitute a serious threat to world peace,
Considering the important role of the United Nations in assisting the movement for independence in Trust and Non-Self-Governing Territories,
Recognizing that the people of the world ardently desire the end of colonialism in all its manifestations,
Convinced that the continued existence of colonialism prevent the development of international economic cooperation, impedes the social, cultural and economic development of dependent peoples and militates against the United Nations ideal of universal peace,
Affirming that people may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic cooperation, based upon the principle of mutual benefit and international law,
Believing the emergence in recent years of a large number of dependent territories into freedom and independence, and recognizing the increasingly powerful trends towards freedom in such territories which have not yet attained independence,
Convinced that all peoples have an inalienable right to complete freedom, the exercise of their sovereignty and the integrity of their national territory,
Solemnly proclaims the necessity of bringing to a speedy and unconditional end colonialism in all its forms and manifestations,
And this to end,

Declares that:

·       The subjection of peoples to alien subjugation, domination and exploitation constitutes a denial of fundamental human rights, is contrary to the Charter of the United Nations and is an impediment to the promotion of world peace and cooperation.
·       All peoples have the right to self-determination; by virtue that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.
·       Inadequacy of political, economic, and social or educational preparedness should NEVER serve as pretext for delaying independence.
·       All armed action or repressive measures of all kinds directed against dependent peoples shall cease in order to enable them to exercise peacefully and freely their right to complete independence, and the integrity of their national territory shall be respected.
·       Immediate steps shall be taken, in Trust and Non-Self-Governing Territories or all other territories which have not yet attained independence, to transfer all powers to the peoples of those territories, without any conditions or reservations, in accordance with their freely expressed will and desire, without any distinction as to race, creed or colour, in order to enable them to enjoy complete independence and freedom.
·       Any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of a country is incompatible with the purposes and principle of the United Nations.
·       All states shall observe faithfully and strictly the provisions of the Charter of the United Nations, the Universal Declaration of Human Rights and the present Declaration on the basis of equality, non-interference in the internal affairs of all States, and respect for the sovereign rights of all peoples and their territorial integrity.

Explanation (Penjelasan):

Deklarasi PBB atas Hak-Hak Asasi Manusia

-     Berdasarkan Resolusi A/RES/1514 (XV) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 14 December 1960 di atas, maka Pemerintah Belanda berkewajiban dan bertanggung jawab atas Hak Menetukan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua yang berdomisili di bagian Barat pulau New Guinea. Dalam hal ini, Belanda berniat baik untuk memberikan Kemerdekaan penuh bagi Bangsa Papua, di bagian Barat Pulau New Guinea, namun niat baik Pemerintah Belanda ini telah digagalkan oleh kepentingan imperalisme Amerika dan Indonesia.

-     Uraian dalam bahasa Inggris sangat padat dan jelas, maka para pembaca diberikan kesempatan agar dipelajari dengan seksama dan efective.

G.         West Papua Decolonization

Human Resources Preparation:
In Resolution 845 (IX) of 22 November 1954, the General Assembly invited Member States to extend generously to the inhabitants of Non-Self-Governing Territories their offers of facilities, not only for study and training of university standard, but in the first place, for study at the post-primary level as well as technical and vocational training of immediate practical value.

After noting the observations of UN Committee on Information, the General Assembly adopted Resolution 1967 (XVI) on 19 December 1961. In this resolution the General Assembly considered that the light of the Decolonization on the Granting of Independence to Colonials Countries and Peoples, continued in its Resolution 1514 (XV) of 14 December 1960, IMMEDIATE STEPS SHOULD BE TAKEN TO TRANSFER ALL POWERS TO THE PEOPLES OF THE NON-SELF-GOVERNING TERRITORIES WITHOUT ANY CONDITIONS OR RESERVATION, and that the rapid preparation and training of indigenous personnel would help towards the achievement of the purposes of Resolution 1514 (XV).

Territorial Government:
Days before sovereignty recognition by the Dutch government on Indonesia in 1949, West Papua, known as Netherlands New Guinea was affirmed in 1950 as a special autonomy government, headed by a governor based on the Netherlands Government's Official Gazette J.576, of December 22, 1949.

In the light of Resolution 1514 (XV) and other related resolutions, West Papua's independence immediately underwent its preparatory stages.
Long before the adoption of Resolution 1514 (XV), the Netherlands government issued an Official Gazette, Stattsblad J.599, January 10, 1949, for the establishment of a West Papuan Council, consisted of a number of peoples' representatives, that would function as a legislative body. However, due to special considerations the plan was only brought into realization on April 05, 1961.

Based on NNG Govt. Official Gazette 1961 No. 6B (National Flag), 1961 No. 69 (National Anthem), and 1961 No. 70 (Flag Raising) of November 18, 1961, the West Papuan National Attributes were officially announced, and used effectively on December 01, 1961.

The Dutch Government action to free West Papua infuriated Soekarno. On December 19, 1961, Soekarno in a political rally in Yogyakarta declared his national command, commonly know as the 'Triple Command of the People' to annex West Papua.

Joseph Luns Connection
Joseph Luns, the Dutch Foreign Minister deliberately misled the Dutch parliament in the 1950s by informing them that he had secured an agreement with US Secretary of State, John F. Dulles, guaranteeing US support for Holland in the event of armed conflict over the West Papua dispute (as was admitted when interviewed by Dr. Paulgrain in 1981 in Brussels).

During the negotiations in 1962 that led to the government, Luns' instructions to the Dutch representative, van Roijen, were so counterproductive in helping to attain self-determination for the Papuans that van Roijen refused to speak with Luns ever again.
With Bunker as mediator, the talks were an unending retreat by the Dutch from their initial standpoint. Kennedies Connection page revision: 0, last edited: 27 Sep 2009, 01:16 GMT+0900 (880 days ago).

Explanation (Penjelasan):

Papua Barat Dalam De-Kolonisasi

-     Majelis Umum PBB mempertegaskan kepada Negara-Negara Anggota PBB, agar wajib melaksanakan semua keputusan dan penetapan melalui Deklrasi-Deklarasi atau pun Kovenan-Kovenan Internasional serta Konvensi-Konvensi Internasional;

-      Hal ini termasuk Hak Menentukan Nasib Sendiri, sebagaimana dapat di jelaskan sesuai resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB tentang De-Colonisasi, juga telah ditetapkan pada Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sivil dan Politik dalam Article 1 Paragraph 1, 2, dan Paragraph 3, yang telah disetujui bersama dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966;

-      Semua Dasar Hukum Hak-Hak Asasi Manusia yang telah dapat di jelaskan pada poin atau huruf D, E, F, dan G di atas, maka bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea mempunyai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri. Hak ini belum terlaksan sesuai mekanisme PBB dalam penjelesaian Konflik atau wilayah Jajahan tanpa berpemrintahan, maka Hak Menentukan Nasib sendiri bagi Rakyat Bangsa Papua masih dan akan berlaku.  


H.   Bersiapan Kemerdekaan Bagi Orang Papua Asli

Berdasarkan dengan Dasar Hukum Positif atas Hak Menentukan Nasib sendiri bagi wilayah-wilayah tak berpemerintahan, yang hidup di bawah control dari Negara-Negara penjajah, sesuai deklarasi-deklarasi serta perjanjian Internasional, sebagaimana dapat di jelaskan pada poin D, E, F dan G dalam article ”Historical Flashback of West Papua” ini, maka Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Orang Pribumi Papua Barat dipersoalkan. Mengapa? Karena, sebenarnya Hak orang-orang Pribumi Papua Barat benar-benar dilanggar. Sebab Hak ini dijamin oleh Hukum HAM Internasional, sebagaiman sesuai Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB.

Belanda telah mempersiapkan dengan matang atas berdirinya sebuah Negara, sebagaimana dapat di jelaskan pada poin atau bagian huruf G di atas. Silakan simak dan pelajari dengan seksama dan se-efective-nya.

Bagaimana cara Papua Barat dipersiapkan untuk menjadi sebuah Negara, oleh Pemerintah Belanda dapat di jelaskan pada bagian ini. Mari kita simak!

Pertama, pembentukan Komite Nasional, Bendera dan Lagu Kebangsaan. Pada tanggal 26 September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda (Luns) berpidato di PBB bahwa Internasionalisasi Papua Belanda harus cepat. Pada tanggal 19 Octobert 1961, sejumlah Tokoh Papua mengadakan pertemuan. Agenda utama adalah pembentukan Dewan Papua (New Guinea Raad) tahun 1961. Pada tanggal 5 April 1961, Pembukaan Dewan Papua dilakukan oleh Menteri Toxopeus yang di damping oleh Bot.
Bendera Bansa Papua atau Bintang Fajar (the Flag of Morning Star) 1961 Yang telah siap

Kedua, perdebatan telah mulai di dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Sidang Majelis Umum PBB di tahun 1960, Soebandrio datang dengan catatan menyindir tentang lemari Negara Boneka Papua. Hal itu tidak di terima dengan baik oleh orang-orang Papua.

Ketiga, Pada tanggal 21 Octobert 1961, Rapat pertama. Agenda utama dalam rapat ini adalah Pemilihan dan penetapan Lambang-Lambang, yang akan harus menunjukkan jati diri Negara dan bangsa Papua Belanda. Yang dimaksud adalah: ”Bendera, Perisai Lambang, Lagu Kebangsaan, Nama Negara dan Semboyan.
Masing-Masing, dapat dijelaskan sebagai berikut:
-      Bendera                : Bintang Kejora;
-      Lambang               : Burung Mambruk;
-     Lagu Kebangsaan  : Hai Tanahku Papua (lagu ini di ciptakan tahun
                                  1923, oleh Missionaris sending I.S. Kinje);
-      Nama Negara        : New Guinea Nederlands;
-      Semboyan             : Keanekaragaman dalam Kesatuan;
-      Bahasa:……?

Selanjutnya, Komite Nasional di serahkan kepada Dewan Papua atas prakarsa 10 orang anggota perhimpunan, dalam satu rapat luar biasa pada tanggal 30 Octobert 1961. Penerimaan Bendera menunjukan Aspirasi orang-orang Papua untuk menjadi suatu bangsa yang merdeka, tetapi hari itu ia di kibarkan, tidak terjadi hari perpisahan dengan Belanda. Source: BAB 11, Blues Papua, Dewan Papua dan Partai-Partai. (Hal:563-572, Buku P.J. Drooglever-An Act of Free Choice in West Papua).
-     DP               : Dewan Papua (New Guinea Raad)
-     KNP              : Komite Nasional Papua
-     DVP             : Partai-Partai Manokwari
-     Parna           : Partai yang berpihak Indonesia di Manokwari
-     Animba        : Partai Politik di Merauke
Dewan Papua (New Guinea Raad) 1961

Tokoh-Tokoh dalam Dewan dan Partai Politik:

1.   Elieser J. Bonay
2.   Marthen Indey (dapat dididik di Ambon, maka paham yang berbeda dengan Nicolas Jouwe).
3.   B.T.J. Jufuway
4.   Nicolas Jouwe
5.  Frans Kaisepo
6.  Tanggama Torey
7.  Womsiwor
8.  Abdulah Arfan
9.  Frits Kirihio
10.                Herman Wajoy
11.                Amos Indey
12.                Rumasewu 1960-an
13.                Silas Papare (Seorang Papua yang tinggal di Indonesia, yang active dalam berbagai Kampanye Irian di Indonesia). 

Pada tanggal 18 November 1961, sesudah rapat luar biasa Dewan, peraturan-peraturan mengenai Bendera dan Lagu Kebangsaan sesuai nasihat Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad Van Adel) di Den Haag, Belanda ditetapkan oleh ”Platteel” di dalam ordonansi-ordonansi. 

Sesuai rencana, pengibaran Bendera berlangsung pada tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia dan di semua underafdeling. Dimana-mana hal itu telah terjadi di dalam suasana khikmat dan tenang, dan di hadiri oleh penguasa-penguasa setempat. (Hal:575 Buku Prof. P.J. Drooglever).
 
Pada masa-masa ini banyak anggota kelompok Infiltrasi-Infiltrasi yang dimotori oleh Infiltran dari Ambon, Key dan Jawa, yang mana telah menjadi pegawai pemerintah Belanda di Papua Barat. 

Kelompok Infiltran ini membuat banyak organisasi yang kerja dibawah tanah (Rahasia), yang pada prinsipnya mengkampanyekan Irian Barat, yang berhubungan dengan Indoesia.

Misalnya:
Organisasi Pemuda Irian (OPI), Gerakan Irian Barat (GRIB), pada Bulan Mei 1962 dilaporkan bahwa ada pembentukan satu organisasi lagi yaitu, Pemoeda Soekarela Indonesia (PSI) yang beranggotakan 70 orang Infiltran dan orang Lokal-Papua yang telah berhasil cuci otak oleh Inflitran-Infiltran dari Ambon dan Jawa tadi. Di dalam organisasi ini orang-orang Key memainkan peranan penting.

Definisi kata Infiltran adalah:
-    Kelompok orang yang ditugaskan oleh Negara, yang mana menajadi Pegawai Negeri Civil atau pun tenaga kerja swasta seperti, Guru-Guru, Mantri, Pelayan Gereja dan lain-lain, dengan dalih bahwa kami sama-sama orang Kristen dan dengan dalih lainnya.

-    Kelompok Infiltran adalah spionase para penjajah, untuk tujuan melakukan kegiatan mata-mata serta mencuci otak pada orang-orang dari bangsa lain yang hidup dibawah penjajahan.

Notes:
Hal ini telah terbukti di Papua dan sedang disaksika. Oleh karena itu, jangan percaya kepada Pendeta-pendeta, Guru-Guru, Pegawai Negeri Sivil, petugas Gereja dan Swasta dari orang Melayu yang melakukan infiltrasi-infiltrasi di Papua, terhadap orang-orang Indigenous Papua. (Hal:580-586, Buku Prof. P.J. Drooglever).

Dalam pendirian Partai-Partai Politik di Papua, orang Muju dan Merauke buat satu Partai lagi yaitu, Volkspartij Voor Vrijbeden Rech (Partai Rakyat Untuk Kemerdekaan dan Keadilan), yang lahir pada tanggal 14 Mei 1962. Pemimpinnya: Johanis Tamberan (Pendiri).

Akhirnya, pada tanggal 25 Mei 1962 Anggota-Anggota Papua Dewan Daerah bergabung dengan pimpinan VVR-PRKK membentuk satu kelompok aksi yaitu, ”AKHIRNYA MENENTUKAN NASIB SENDIRI”. Keinginan utama adalah untuk mengumpulkan semua Infiltran Indonesia dan mengadili mereka. Wilayah ini diwakili di dalam Dewan Papua oleh Kaleb Gebze. Untuk wilayah Enarotali dan danau-danau Wisel ada perwakilannya yaitu, ”Willem Songgonau”, salah seorang Ekari-Moni yang bersekolah di Sekolah Guru di Hollandia, telah menjadi anggota Komite Nasional Papua disitu.

Semacam organisasi Politik, di Lembah Balim yang luas itu tidak ada. Hal ini disebabkan oleh karena masuknya orang Barat masih dalam stadium paling dini. (Hal:587-Buku Prof. P.J. Drooglever).

Segera sesudah debat-debat, Parlemen di Belanda pada tanggal 6 Januari 1962, Komite Nasional berkumpul untuk ketiga kalinya di Hollandia. Disana dicoba untuk mendapat cantolan (informasi) atas perkembangan-perkembangan di Belanda.

Orang Papua menyatakan setuju dengan niat Belanda untuk mulai lagi perundingan dengan Indonesia, tetapi dengan persyaratan bahwa Wakil Bangsa Papua harus ikut serta di dalamnya dengan satu delegasi sendiri. (Hal:589-Buku Prof. P.J. Drooglever).

Dalam minggu-minggu berikutnya, perundingan yang diminta mengenai Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination) berlangsung, dan berbagai keinginan di afdeling-afdeling di bicarakan. Pada tanggal 7 Februari 1962, rancangan jawaban sudah selesai. Jawaban itu di kirim ke Bot di Den Haag, Belanda, yang dengan itu mendapat kesempatan untuk memberikan komentar.

Dokumen dibuka dengan membicarakan klaim-klaim Indonesia, seperti diucapkan oleh Soebandrio dalam rapat terakhir Sidang Majelis Umum PBB. Kata Soebandrio: Pendirian Indonesia bahwa Papua sudah termasuk di dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Sekali lagi di tolak, dengan alasan bahwa Papua lain dari Jawa, pada saat itu sudah dibebaskan oleh Sekutu (Amerika-Eropa). Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri ada pada penduduk setempat, dan kewajiban untuk mendidik orang Papua dipercayakan kepada Pemerintah Belanda sebagai Anggota PBB. Dari uraian di atas menunjukan bahwa Klaim Indonesia tidak berdasar dan tidak memiliki kekuatan Hukum, maka semua pemikiran dan tindakan Indonesia atas Papua Barat adalah tindakan criminal dengan watak pencuri dari animo melacur tinggi. 


I.    Perjanjian (New York Agreement 15 August 1962) dan Penyerahan Administrasi Pemerintahan Papua Barat Kepada UNTEA

a) Masuknya UNTEA Dalam Genggaman Jakarta

Sebagaimana telah di uraikan terdahulu tentang gambaran umum atas suasana batin di antara penduduk asli selama tahun terakhir pemerintahan Belanda. Hal ini, Pemerintah Belanda berangkapan bahwa masih bisa mempertahankan perundingan demi kepentingan-kepentingan orang-orang Papua. Namun di kalangan penduduk Belanda di Den Haag, ketidakpastian penduduk pulau itu makin besar.

Artinya, mayoritas penduduk Belanda di Den Haag meragukan perundingan-perundingan antara Belanda dan Indonesia. Mengapa? Karena posisi Pemerintah Belanda Lemah dan masih di bawah tekanan Amerika dan PBB. Sementara, pihak Papua kepercayaan terhadap Pemerintah Belanda masih dominan.

Oleh karena itu, gambaran berbeda-beda, tergantung pada posisi dan harapan-harapan pengamat. Berkenaan dengan situasi ini, pada kunjungannya di Bulan November 1961, Wartawan Australia yang diintroduksi dengan baik oleh ”Peter Hasting” yang mensketsakan satu gambaran yang cukup suram.

Lain halnya dengan diplomat ”Parcival”, yang singgah setelah beberapa bulan kemudian di Papua. Ia mengkonstatasi bahwa walaupun makin banyak perempuan dan anak-anak Belanda berangkat ke Belanda dari Papua, namun moral pria Belanda tinggi dan semangat, dan bahwa bekerjaan berjalan terus sebagaimana lasimnya.

Artinya, orang Belanda tetap setia menjalankan pekerjaan dalam pembangunan di Papua. Tetapi bagi penduduk  asli orang Papua semakin anti Indonesia, karena tekanan serta manuver-manuver politik terror dan aksi-aksi pada akhir tahun 1962.

Lebih lanjut, ”Precival” seperti banyak orang Australia sendiri yang mengunjungi Papua, tersentuh oleh pergaulan yang bersahabat antara orang-orang Papua dan Belanda.

Pengiriman Pasukan Perdamaian (United Nations Security Force), 1.500 orang yang telah dikirim oleh U’Than (Sekjen) PBB, delapan belas penasehat atau pengamat Militer yang bersal dari 6 Negara untuk mengawali pelaksanaan kencatan senjata.

Sekali pun Pasukan PBB sudah berada di Papua, tetapi operasi-operasi Tentara Indonesia dapat berjalan terus. Pasukan PBB tidak berdaya mengendalikan agresi militer Indonesia. Hal ini terbukti dari laporan REESER, setelah berkunjungnya di Hollandia pada tanggal 18 Agustus 1962. (Hal:613-615, Buku Prof. P.J. Drooglever).

b)Anggota PBB lain yang ikut terlibat dalam pengamanan di Papua adalah: 

1.            Dr. Djalal Abdoh-Diplomat Persia untuk PBB
2.            Jose Rolz Bennett-Pejabat Kepala kantor PBB
3.            Platteel-Belanda
4.            H. Veldkam-Belanda

Mereka ini sebagai administrator, dalam pelaksanaan missi PBB di Papua pada tahun 1962-1963. Pertanyaan sangat rumit adalah bagaimana memperlakukan bendera Papua.

Dari pihak Belanda sudah dinyatakan bahwa hal ini tidak perlu dipermasalahkan, karena menurut kesepakatan New York dibawah Pemerintahan UNTEA semua peraturan perundang-undangan tetap dipertahankan.

Pengadaan satu bendera negeri adalah salah satu daripadanya. Akan tetapi, Bennett dari sejak awal menjelaskan bahwa di dalam kesepakatan New York tidak diberitakan tentang bendera semacam itu, dan bahwa PBB tidak menginginkannya.

Perwira-Perwira penghubung yang di tempatkan dalam Pemerintah UNTEA, diplomat Goedhardt-Belanda dan Sudjarwo-Indonesia.

Anggota UNTEA di Papua tahap awal 170 orang. Masuknya pegawai-pegawai dan Tentara Orang Indonesia juga berlangsung tidak sesuai rencana. Sementara, kesepakatan di Middleburgh menyepakati bahwa Kekuatan besar-besaran boleh terjadi sesudah berakhirnya fase pertama UNTEA.

c) Lahirnya kesepakatan atau Perjanjian New York 15 Agustus 1962

Juru-Juru Runding:
1.            Soebandrio-Indonesia
2.            Adam Malik-Indonesia
3.            Van Roijen-Belanda
4.            Bunker-Ambasator Amerika (Mediator)
5.            U’Than-Sekjen PBB

d)Isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962

Pada dasarnya dapat mengatur tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pelaksanaan Self-Determination di Papua Barat, yang dipertegaskan atas Hak-Hak Kebebasan orang Papua Asli (Indigenous peoples of west Papua) dalam melakukan Referendum.

Hak-Hak ini termasuk:
Hak Kebebasan Berkumpul, Hak Berorganisasi, Hak Berbicara, Hak Kebebasan Memilih dan Hak-Hak lain dalam mengahadapi Referendum pada tahun 1969 di Papua Barat, berdasarkan Article 1 Paragraph 1, 2, dan Paragraph 3 ”The International Covenant on Civil and Political Rights”.  

Perjanjian New York dibuat berdasarkan, perundingan-perundingan panjang antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia. Wakil bangsa Papua tidak dilibatkan. Hal ini adalah kekeliruan besar oleh PBB, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Mengapa? Sebab, menurut Hukum memang telah dilanggar Hak Bangsa Papua oleh ketiga kelompok kepentingan atas Papua Barat.

Pesan:
(Selengkapnya boleh memperoleh Buku Karya Rev. Socratez Sofyan Yoman, yang berjudul PEPERA 1969 di Papua Bara Tidak Demokratis dan Cacat secara Hukum dan Moral).


J.    Perjajian Roma (Roma Agreement)

Perjanjia ini juga tidak jauh beda dengan Perjanjian New York, dimana lahirnya suatu perjanjian sebelum menghadapi Referendum di Papua Barat, berdasarkan perundingan ke perundingan antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia atas Hak Pengelolaan dan Pembangunan di Papua Barat. Perjanjian ini adalah kontroversi dengan perjanjian New York, karena perjanjian Roma dapat membelokan perjanjian New York dan melegitimasi Indonesia untuk melegalkan diri masuk di Papua Barat untuk membunuh dan mencuri. Hal ini telah terbukti dan sedang berjalan terus.   

K. Penyerahan Administrasi Pemerintahan Papua Barat kepada Pemerintah Indonesia dari UNTEA

Akhirnya, pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA melakukan transfer atau penyerahan Administrasi Papua Barat kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Fase pertama otoritas UNTEA telah berakhir.

Penyerahan Administrasi dari UNTEA kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 adalah Kesalahan vatal dari PBB. Mengapa? Karena, seharusnya UNTEA tetap menangani Administrasi Pemerintahan di Papua Barat sampai dengan pelaksanaan PEPERA tahun 1969. Namun karena UNTEA menyerahkan Administrasi Papua Barat kepada Pemerintah Indonesia, maka Indonesia beranggapan bahwa mereka mempunyai Hak penuh dan berwenang atas Papua Barat.

Dengan dasar pemahaman sempit ini, maka Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan AGRESI Militer-nya yang brutal dan bengis, terhadap orang-orang Indigenous Papuans. Untuk lebih jelasnya, tentang Agresi Militer Indonesia di Papua dapat dijelaskan pada bagian berikut dalam huruf L dibawah ini. Para pembaca diberikan kesempatan, agar dapat mempelajarinya dengan seksama dan se-efectivenya.

L.  Invasi Militer Indonesia di Papua Bagian Barat Pulau New Guinea

Dengan di Legitimasinya penyerahan Administrasi Pemerintahan Papua Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka Indonesia telah dapat melegalkan diri atas semua tindakan dalam aksi-aksi Militernya.

Tindakan Militer Indonesia yang dimaksud, telah dapat lakukan dari tanggal 1 Mei 1963 sampai dengan tahun 1969, dimana berakhirnya PEPERA yang dapat di REKAYASA dengan Penuh TERROR dan INTIMIDASI. Hal ini adalah Fakta.

Untuk membuktikannya, silakan ikuti Pengakuan Letje Purn Sintong Panjaitan dalam Bukunya yang berjudul "Perjalanan Seorang Prajurit PARA KOMANDO" dibawah ini. Silakan simak!

"Perjalanan Seorang Prajurit PARA KOMANDO" pada halaman 145-187 tentang peristiwa pelanggaran hak-hak asasi manusia atas bangsa Papua Barat. Dalam bukunya Sintong Panjaitan mengulas dengan jelas bahwa PEPERA 1969 dapat dimenangkan melalui operasi, TEMPUR, operasi TERITORIAL dan operasi WIBAWA yang bertujuan untuk menteror, dan Intimidasi orang Asli Papua, yang pro Merdeka.
Sintong Panjaitan
Peristiwa pelanggaran HAM ini dengan agenda "OPERASI TEMPUR DI IRIAN BARAT" (RPKAD) tahun 1965 di kepala Burung Manokwari; OPERASI TERITORIAL PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI IRIAN BARAT dengan operasi "KARSAYWDA WIBAWA" yang bertujuan untuk memenangkan PEPERA 1969 melalui jalan teror, intimidasi dan pembunuhan, penculikan orang asli Papua yang dicurigai.
DenganFakta pengakuan Sintong Panjaitan di atas, maka telah jelas bahwa bangsa Papua telah dan sedang menjadi korban pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia.

Folded Corner: Sintong Panjaitan juga telah menambahkan, bahwa seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi TEMPUR, TERITORIAL dan WIBAWA sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin bahwa PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Merdeka. 


Sington Panjaitan adalah Komandan Operasi Lapangan, Pada tahun 1965-1969 sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Sintong Panjaitan juga adalah pelaku dan saksi atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM terhadap bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.


M. Pelaksanaan PEPERA 1969 (Self-Determination) serta Hasilnya dalam Sidang Majelis Umum PBB dan Protes Negara-Negara Anggota PBB

a)   Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat Oleh Pemerintah Republik Indonesia

Akhirnya, Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) di Papua Barat telah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dari tanggal 19 Juli 1969-4 Agustus 1969, yang dimulai dari Merauke sampai Sorong dan berkahir di Hollandia, Papua Barat.

Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah tidak sesuai dengan New York Agreement 15th August 1962, dan juga tidak berdasarkan praktek Internasional sesuai mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana lasim digunakan dalam Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi daerah jajahan, berdasarkan aturan Hukum HAM Internasional.

Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat adalah dengan cara Indonesia yaitu, MUSYAWARA yang tidak pernah dilaksanakan oleh PBB di Negara mana pun di muka bumi. Hal ini adalah tindakan liar, yang pada hakekatnya adalah KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN.

b)  Protes Bangsa Papua atas Pelaksanaan PEPERA 1969

Dengan demikian, maka pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat dibenarkan oleh siapa pun dan dari Hukum mana pun di Dunia. Itu sebabnya, bangsa Papua di bagian Barat pulau New Guinea telah melakukan protes keras dan sedang berjuang terus untuk memperoleh Hak Menentukan Nasib sendiri berdasarkan Legal Procedure, yang lasim digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menangani wilayah konflik, dimana merupakan daerah Jajahan yang dapat menjadi sengketa politik.

c)  Protes Negara-Negara Anggota PBB atas Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua dalam Sidang Majelis Umum PBB
   
Pada tanggal 3 November 1969, Hasil PEPERA 1969 di Papua Barat telah dilaporkan secara resmi oleh dua pihak. Laporan pihak pertama adalah oleh Wakil Pemerintah Republik Indonesia, yang diwakili oleh Soebandrio. Dan Laporan Pihak Kedua adalah oleh utusan PBB, yang mana diwakilkan oleh Dr. Fernandez Ordiz San. Setelah mendengar laporan dari kedua belah pihak, maka Negara-Negara Afrika dan Karibian yang dipimpin langsung oleh Ghana dan Gabon telah dapat melakukan pengajuan keberatan atas laporan, tentang hasil Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.

Hal ini dapat terjadi karena dinilai bahwa Pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua bermasalah, dan juga metode pelaksanaannya tidak berdasarkan Mekanisme PBB. Kemudia Negara-Negara Afrika dan Caribian mengajukan permohonan penundaan waktu dua minggu untuk mempelajari Document yang dimaksud. Mengapa? Karena laporan ini perlu waktu yang cukup untuk di pelajari, kemudia dapat mengajukan dalam Sidang Lanjutan.

Akhirnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa  menerima usulan Channa dan Cabon kemuadian sidang ditunda untuk waktu dua minggu, terhitung dari tanggal 4 November 1969.

Selanjutnya, Majelis Umum PBB membuka kembali Sidangnya pada tanggal 19 November 1969, dengan agenda mendengarkan draf usulan dari Negara-Negara pihak protes dan juga oleh Indonesia dan Belanda.

Kemudian, Negara-Negara pihak protes, mengajukan draf dengan Resolusi bahwa Referendum ulang harus dan wajib dilaksanakan di Papua Bara dalam tahun 1975, dengan dasar alasan yang rasional. Mengapa? Karena setelah mempelajari laporan Indonesia dan Utusan PBB atas pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat, menunjukan bahwa hasil PEPERA tidak sah dan melanggar prosedur Internasional dan Musyawara adalah cara yang unik dan tidak dapat di terima oleh akal sehat.  

Setelah mendengar draf usulan Negara-Negara Pihak protes, selanjutnya kiliran bagi Indonesia dan Belanda. Akhirnya, Belanda dan Indonesia mengajukan draf usulan bersama bahwa mereka siap membangun Papua, dengan perjanjian bahwa Indonesia siap melaksanakan pembangunan dan membangun Papua, yang terutama di bidang Pendidikan, Kesehatan dan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan bagi penduduk setempat, dan Belanda siap memberikan suntikan Dana demi terwujudnya semua program yang di masukan dalam draf usulan.

Dengan demikian Majelis Umum PBB dengan sangat hati-hati dan teliti, mengumumkan bahwa Sidang terhormat menerima draf usulan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia.

Mengapa draf usulan Indonesia dan Belanda dapat di terima oleh Sidang Majelis Umum PBB?

Karena memang, Indonesia dan Belanda di backup penuh oleh Amerika Serikat dan PBB. Hal ini adalah suatu manuver politik kotor atas kepentingan Amerika dan Indonesia di Papua Barat, yang mana mengorbankan Hak Politik bangsa Papua Barat untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan berdiri sebagai bangsa yang merdeka.

Berdasarkan draf usulan Indonesia dan Belanda, maka Majelis umum PBB telah mencatat dengan Resolusi 2504. Ingat, bahwa Resolusi ini bukan merupakan Pengesahan Hasil PEPERA 1969, melainkan hanya sebagai catatan (TAKE NOTE) untuk melengkapi prosedur Sidang tahunan PBB.

Semua ini terbukti dari Archive PBB yang tersimpan pada Kantor Pusat PBB di New York, Amerika Serikat, yang mana telah dapat diteliti oleh Dr. John Salfor (Akademisi Inggris) dan juga dapat diperkuat dari Buku karya Prof. P.J. Drooglever (Guru Besar Leiden University, Belanda). 


N.         Protes dan Perlawanan Bangsa Papua di Bagian Barat Pulau New Giunea atas Kehadiran Indonesia

Sikap protes dan anti Indonesia telah mengkristal dalam benak dan jiwa sanubari orang-orang Pribumi Papua Barat, dari sejak Soebandrio berpidato di PBB dalam tahun 1960-an hingga kini. Dengan demikian, maka bangsa Papua Barat semakin giat berjuang untuk memperoleh Hak Dasarnya yaitu, Kemerdekaan Penuh Melalu mekanisme legal PBB, sebagaimana telah dapat dilaksanakan terhadap bangsa-bangsa lain di muka Bumi. Yang dimaksud adalah: Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination) melalui sebuah REFERENDUM yang demokratis dan bermartabat.


O.         Perlawanan Bangsa Papua serta Perjuangan Menuntut Pelanggaran atas Hak Politik Menentukan Nasib Sendiri

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dari huruf A sampai N di atas, maka bangsa Papua mengetahui pasti bahwa Hak mereka telah dilanggar. Dengan demikian, maka bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea telah dan sedang berjuang dengan gigi, untuk memperoleh Hak dasarnya yaitu, HAK POLITIK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (Self-Determination).

Solusi ahir adalah Papua Barat harus dan wajib Merdeka penuh, sebagai bangsa-bangsa lain yang bernaung di atas bumi.

Oleh karena itu, maka bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah payung organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa jawib menghargai hak-hak bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.

Hak-Hak ini termasuk, Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-determination) berdasarkan Hukum Internasional yang antara lain:

1.  Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal atas Hak-Hak Asasi Manusia), yang telah di terima dan di sahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948;

2.  The International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sivil dan Politik), yang telah diterima dan di sahkan pada tanggal 16 Desember 1966;

3.  Declaration on the Granting of Independence to the Colonials Countries and Peoples (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas mengabulkannya Kemerdekaan bagi Wilayah-Wilayah Jajahan dan orang-orang) dengan Resolusi A/RES/1514 (XV), yang telah di terima dan disahkan pada tanggal 14 Desember 1960;

4.  Serta United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Masyarakat Adat Pribumi), yang di terima dan di sahkan pada tanggal 13 September 2007.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Indigenous Peoples ini lebih memperkuat dan mengikat Hukum tetap atas semua Hukum Internasional, yang berhubungan dengan Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana dapat di uraikan di atas.

Dengan demikian, maka Hak-Hak Asasi Manusia wajib dihargai dan tidak boleh merampas atau melanggar Hak setiap orang. Negara-Negara pihak yang ikut serta dalam penandatanganan perjanjian Internasional, wajib melindungi Hak-Hak dari setiap orang yang berada dibawah juridiksinya. Indonesia adalah salah satu Negara yang ikut menandatangani semua Deklarasi maupun kovenan serta konvensi-konvensi Internasional, maka Indonesia berkewajiban untuk harus melindungi dan menegakkan semua instrument-instrumen Hak-Hak Asasi Manusia. [1]


P.    Akibat Kesalahan PBB Bangsa Papua Telah dan Sedang Menderita  

A. Konflik Papua yang Berkepanjangan Akibat Kesalahan Prosedur Waktu Aneksasi Papua Barat Kedalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konflik Papua
yang Berkepanjangan Akibat Kesalahan Prosedur Waktu Aneksasi Papua Barat Kedalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai berikut.

Pertama, Perjanjian New York 15 Agustus 196
2 yang tidak pernah melibatkan masyarakat Papua sebagai subyek dalam perjanjian ini;

Kedua, Indonesia dan PBB tidak pernah
melaksanakan perjanjian New Yok 15 Agustus 1962, di mana ada ketentuan penting yang ditampung atas  hak-hak asli orang  Papua tidak dapat diterapkan dalam proses pelaksanaan 1969 Act of Free Choice di Papua Barat .

Titik penting dari Pasal 18 dari New York Ageement adalah '' penentuan nasib sendiri dilakukan sesuai dengan praktek internasional ''. Pasal 18 d kutipan lengkap adalah sebagai berikut:

'' Pemenuhan persyaratan dari semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, tidak
termasuk warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri dilakukan sesuai dengan praktek internasional, yang juga merupakan penduduk pada saat penandatanganan Perjanjian ini dan di waktu penentuan nasib sendiri, termasuk warga yang tersisa setelah 1945 dan kembali ke daerah untuk melanjutkan tinggal setelah berakhirnya pemerintah Belanda ''

B. Pertanyaan dan Jawaban Tentang Perjanjian New York sebagai berikut:

Pertanyaan pertama:
Mengapa Perjanjian Pasal 2 set penyerahan Papua ke UNTEA (PBB) dan slanjutnya dari UNTEA (PBB) diserahkan ke Indonesia?

Jawaban:
Pada tanggal 1 Oktober 1961 Pemerintah Belanda
telah menyerahkan wilayah Papua Barat ke United Nations Temporary Executive Authorary (UNTEA) atau badan oraganisasi PBB, dan kemudian (UNTEA) kontrol Papua hanya selama 6 bulan mulai dari tanggal 1 April 1962 dan berakhir 1 Mei 1963. Pada tanggal 1 Mei, 1963 adalah pengajuan resmi wilayah Papua Barat ke Indonesia oleh PBB pada saat itu.

"Apa yang perlu disorot untuk menjawab bagian ini adalah UNTEA sebagai lembaga internasional harus terus berada di Papua melalui penerapan penentuan nasib sendiri
bagi rakyat Papua. Tapi, apa yang terjadi adalah pengiriman Papua secara resmi menjadi bagian dari  pemerintahan Indonesia tanpa prosedur penentuan nasib sendiri ".

pertanyaan Kedua:
Mengapa Perjanjian Pasal 17 ditetapkan bahwa pelaksanaan
PEPERA 1969
 Tanggung jawab adalah Indonesia?

Jawaban:
Pelaksanaan tahun 1969 di Papua Barat hanyalah sebuah upaya teatrikal oleh PBB, Pemerintah Indonesia dan Belanda. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk melaksanakan
PEPERA tahun 1969 sebagai formalitas bisnis. Bahkan wilayah Papua Barat sudah diserakan secara resmi kepada Indonesia yang telah diluncurkan pada tanggal 1 Mei 1963 oleh UNTEA (PBB) sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Ini adalah konspirasi politik Internasional melecekan dan mengkhianati hak-hak dan martabat rakyat Papua.

Pertanyaan ketiga:
Megapa Perjanjian Pasal 18-d tidak dilakukan sesuai dengan praktek internasional?

Jawaban:
Perjanjian Pasal 18-d tidak dilakukan sesuai dengan peraktek Inernasional karena dua alasan mendasar. Pertama, Papua telah diserahkan ke Indonesia secara resmi oleh PBB, AS, Belanda, melalui Perjanjian ini dan diwujudkan pada tanggal 1 Mei 1963. Kedua, konsensual Italia, Roma, 20 s / d 21 Mei 1969 antara Menteri Luar Negeri Belanda J.M.A.H. Luns, Menteri Belanda untuk Bantuan Pembangunan B.J. Undink, dan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik. Suara makhluk kesepakatan adalah '' Menteri Luar Negeri Indonesia menegaskan posisi Pemerintah Indonesia tentang kebebasan Memilih yaitu bahwa mengingat pertimbangan praktis dan partimbangan teknis sistem Indonesia '' Rapat '' adalah cara terbaik ... ''38

Pertanyaan keempat:
Mengapa Perjanjian Pasal 21 ditetapkan bahwa hasil penentuan nasib sendiri dari orang Papua hanya dilaporkan oleh Indonesia kepada Sekretaris Jenderal PBB dan untuk melaporkan di Majelis Umum PBB?

Jawaban:
Jika PBB, AS, Belanda dan Indonesia, benar-benar berpikir tentang masa depan rakyat Papua, langkah bijak dan penting yang harus diambil adalah:

Pertama, UNTEA tidak harus menyerahkan Papua ke Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, tetapi UNTEA harus memiliki kontrol
atas Papua untuk menyelesaikan pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Kedua, Indonesia pihak yang bertikai dengan Belanda tentang status politik Papua Barat, tidak harus terlibat dalam pelaksanaan penentuan nasib sendiri dari orang Papua.

Ketiga, pemerintah Indonesia seharusnya tidak diizinkan untuk menerapkan hukum dan peraturan nasional Indonesia serta menempatkan pasukan Tentara Nasional Indonesia di Papua Barat, sebelum Papua menyatakan pilihan politik akan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai bangsa yang berdaulat berdasarkan penentuan nasib sendiri.


Pertanyaan Kelima:
Mengapa UNTEA dan Indonesia Tidak Melakukan Ini benar-benar-benar Tentang Perjanjian Keamanan Pasal 22 Keamanan dan Kebebasan
atas orang Asli Papua?

Jawaban:
Hal ini jelas bahwa PBB, Amerika, Belanda, Indonesia, tidak berpikir tentang keamanan dan kebebasan rakyat Papua di tanah dan negeri mereka sendiri. Tujuan utama dari Amerika, Indonesia adalah sumber daya alam di Papua Barat. Dengan demikian, masalah jaminan keamanan dan kebebasan rakyat Papua Barat tidak urusan Amerika, PBB, dan Indonesia. Perjanjian Pasal 22 hanya sebagai upaya untuk membawa tekanan dari masyarakat internasional dari beberapa negara anggota PBB akan membahas hasil laporan rekayasa 1969 yang digelar di Papua Barat.

Perjanjian New York 15 Agustus 1962 terdiri dari 29 bab, nasib pro-Papua Merdeka tidak diatur dalam satu bab. Perjanjian New York yang timbul dari 29 Pasal yang melecehkan hak asasi manusia Papua pro-kemerdekaan.

Pertanyaan keenam:
'' Dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tidak dibahas dan ditentukan dalam satu bab adalah tentang nasib rakyat Papua, yang memegang kuat untuk Merdeka di tanah airnya. Apakah dalam Anggaran Persetujuan New York ada tersirat tentang kepentingan Rakyat Papua pro-Merdeka?

Jawaban:
Hak dari Rakyat Papua pro-kemerdekaan sangat mangabaikan perjanjian New York. Pengabaian nasib pro-Papua Merdeka dalam Perjanjian New York adalah pelanggaran hak-hak rakyat Papua yang pro-kemerdekaan.

C. Penjelasan Tentang Perjanjian New York dari 15 Agustus 1962

Jika Perjanjian New York 15 Agustus 1962 jujur ​​dirumuskan untuk menentukan nasib sendiri (Self-
Determination) untuk menggunakan praktek internasional, berarti bahwa hak-hak setiap orang Papua pantas untuk menjadi perhatian utama yang meliputi hak  pro-kemerdekaan. Papua anti Indonesia dapat dikatakan 99%  waktu itu. Sebaliknya, pro-Indonesia beberapa kelompok yang dikalang oleh Indonesia kebanyakan orang yang datang dari Indo-Belanda, Jawa, Manado, Makassar, Buton, Bugis, dan Ambon, sebagian besar non-Papua yang tinggal di Manokwari dan Hollandia (Jayapura).

Tidak berbicara tentang nasib pro-Papua Merdeka dalam 29
Pasal  Perjanjian New York New York adalah karena perjanjian itu hanya kepentingan politik dan ekonomi bangsa dari Amerika Serikat dan Indonesia dengan tujuan menguasai sumber daya alam di Papua Barat.

Berpihak dengan Perjanjian New York untuk Indonesia sangat menonjol di New York
, dan seluruh isi Perjanjian itu sendiri. Perjanjian New York dikatakan penentuan nasib sendiri dari Rakyat Papua Barat, tapi benar-benar hanya sebagai alat yang mengejar Internasional, menangkap, menyembelih, memperkosa, menyiksa, memenjarakan dan membunuh semua penduduk Papua Barat.

'' Menurut analisis Rakyat Papua, Perjanjian New York adalah awal penangkapan, pembantaian, pemerkosaan, penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan, penindasan
, dan penjaraan hak-hak dari Orang Asli Papua Barat.

Seluruh isi Perjanjian perumusan New York sebagai kesalahan fatal yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Indonesia, Belanda dan PBB. Tidak ada dasar hukum yang membenarkan bahwa daerah yang masih disengketakan oleh kedua negara, salah satu negara yang bersengketa diperbolehkan untuk menerapkan aturan di daerah sengketa. klausul disebutkan berkaitan dengan pengalihan wewenang dari UNTEA ke Indonesia sebagai distorsi sejarah oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB dalam proses pembuatan Perjanjian New York.

Penempatan Indonesia di Papua sejak 1 Mei 1963 secara administratif adalah kesalahan dan kesalahan terbesar dalam sejarah bangsa dan negara di dunia. '

Dikatakan kesalahan dan kesalahan terbesar, karena Hak Rakyat dan Papua Barat yang berkulit hitam dan
berrambut keriting ras Melanesia yang Tuhan ciptakan di bumi Papua dilecehkan dan dihina.

Hak dan kebebasan Rakyat Papua benar-benar tidak dijamin, bahkan jika hak-hak kebebasan itu diatur sebagaimana tercantum dalam Pasal XIV yang menyatakan: ... bahwa mereka (Indonesia) konsisten dengan hak-hak dan kebebasan penduduk
pribumi dijamin di bawah persyaratan -persyaratan Perjanjian ini.

Persetujuan New York ditetapkan
dan yang paling jelas tentang hak menjamin kebebasan bergerak dan perserikat bagi Rakyat Papua Barat: '' UNTEA dan Indonesia menjamin hak penuh, termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak dan perserikat, untuk orang asli Papua.

Tetapi
hak kebebasan orang Papua Barat yang ditetapkan dalam Perjanjian New York sebenarnya disita, dikhianati oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan resmi Presiden Ir. Soekarno bernomor: 8 / Mei / 1963, yang menyatakan:

'' Melarang / memblokir pada munculnya cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk umum, pertemuan-pertemuan publik, demonstrasi, publikasi cetak, pengumuman, distribusi, perdagangan atau artikel, umum mencolok, gambar atau foto tanpa izin dari yang pertama dari gubernur atau pejabat
resmi yang ditunjuk oleh Presiden.

Keputusan (SK) Ir. Sukarno, yang dikutip di atas merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari teror, intervensi, intimidasi dan rekayasa Pemerintah Indonesia untuk Rakyat Papua Barat. Pemerintah Indonesia benar-benar mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana tercantum dalam ideologi nasional Pancasila sebagai Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah menjelaskan beberapa Anggaran Persetujuan New York 15 Agustus 1962 di atas, perlu dijelaskan oleh dua pertanyaan penting, termasuk: (1) Mengapa Perjanjian New York pada
 tanggal 15 Agustus tahun 1962 dibuat? (2) Apa Tujuan dari Perjanjian New York 15 Agustus 1962?

Q. Kesimpulan

Bahwa, New Guinea adalah karya penciptaan Yang Maha Kuasa ketika penciptaan-Nya dan menempatkan orang Papua yang berumpun Melanesia, di wilayah Pasifik. Maka klaim dari orang lain dari planet bumi adalah tidak benar, karena fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa Papua telah lama ada;

Bahwa Papua Barat bukan anak dari pulau-pulau atau tidak terbentuk karena mencairnya gunung es
(gleser) dari pulau-pulau Jawa, tetapi Papua Barat selama berabad-abad mendiami oleh Orang Papua dengan sumber daya alam-yang cukup melimpah;

Bahwa, Belanda bermaksud baik untuk memberikan kemerdekaan bagi Papua Barat, tapi niat baik itu telah dihianati oleh Amerika Serikat dan Indonesia atas kepentingan ekonomi mereka;

Bahwa, semua jalan aneksasi Papua Barat penuh dimanipulasi dan manipulatif, dengan manuver Politik yang Kotor oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Amerika Serikat;

Bahwa, pendudukan Indonesia di tanah bangsa Papua di bagian barat pulau New Guinea adalah ilegal dan dasar hukum yang tidak kuat;

Bahwa, dengan membuktikan sejarah fakta menunjukkan bahwa Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi  rakyat pribumi Papua Barat tidak pernah dilaksanakan dan Masih Berlaku. Hak dan Demokrasi akan dilaksanakan sesuai prosedur demokrasi PBB.

R. rekomendasi umum

Pertama,
Untuk Rakyat Papua Barat dan Semua Komponen Perjuangan Papua Bangsa serta Barat Papua Nugini

(1). Sedangkan, untuk mencegah kepunahan orang Papua yang rumpun Melanesia di Papua Barat, segera mengambil langkah dan menentukan efektif untuk membangun kesatuan, yang kemudian menyuarakan kepada masyarakat dan Pemerintah organisasi di seluruh dunia, yang terutama Bangsa Institusi dan kemanusiaan kerja:

(2). Sedangkan, segera bersatu dan berjuang untuk mempertahankan bangsa Papua sebagai Melanesia Etnis Genosida, bencana akibat tindakan tercela dari Pemerintah Indonesia melalui kekuatan seciruty thier;

(3). Padahal, mendorong bahwa semua komponen Masyarakat Adat Papua, untuk menunjukkan kerendahan hati dan saling mencintai dengan penuh kedamaian di antara penduduk asli Papua kemudian memberitahu kebenaran kepada bangsa-bangsa lain di dunia.

Kedua,
Untuk Pemerintah Republik Indonesia

(1). Sedangkan, untuk menyelesaikan konflik politik antara pemerintah Indonesia dan orang Papua di Papua Barat, dengan martabat dan benar-benar, maka pemerintah Indonesia untuk merenungkan diri mereka sendiri dan perlu untuk mengakui kesalahan, dan membuka diri untuk menerima Dialog Internasional diusulkan yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.

(2). Sedangkan, tha bersama-sama dengan wakil rakyat Papua dipilih oleh akar rumput, mencari solusi melalui dialog International damai, dimediasi oleh pihak ketiga yang netral;

(3). Sedangkan, membuka akses seluas-luasnya kepada pengamat, peneliti, bekerja pada Hak Asasi Manusia dan wartawan asing untuk mengunjungi atau memungkinkan Intering Papua Barat;

(4). Itu, menghormati dan memperlakukan penduduk asli Papua, sebagai manusia yang bermartabat sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional dan hukum nasional;

(5). Sedangkan, untuk menghentikan segala bentuk konspirasi politik Pemerintah Republik Indonesia direkayasa melalui aparat keamanan yang represif, yang telah dan sedang dilakukan untuk rakyat Papua yang telah berkunjung ke dimulai pada 1 Mei 1963 sampai sekarang. Ini termasuk teror, intimidasi, penganiayaan, penangkapan, penahanan, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum di luar prosedur (yustisial ekstra Tewas) dan penghilangan, Pembunuhan massal terkemuka bangsa Papua Barat;

(6). Sedangkan, menghargai dan menghormati hak-hak kebebasan masyarakat adat dari penduduk asli Papua untuk berbicara, berkumpul, berserikat, menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia Internasional dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;

(7). Itu, segera membebaskan semua tahanan politik Papua bangsa, dari seluruh Indonesina Lembaga pemasyarakatan.

Ketiga,
Pemerintah dan Parlemen Dunia, Lembaga Pendidikan Internasional Humsn Hak Workking, PBB dan Masyarakat Internasional.

(1). Sedangkan, untuk mencegah korban dan menghentikan konflik politik kekerasan antara Pemerintah Republik Indonesia dan bangsa Papua Barat, PBB oleh semua Pemerintah Anggota PBB untuk segera membuka segera membuka ruang demokrasi bagi rakyat Papua Barat, dan lebih lanjut untuk memfasilitasi dialog International, untuk melakukan peninjauan kembali atas pelaksanaan Resolusi 1969 dan 24 dengan No 2504. Mengapa? Karena resolusi tidak jelas. Artinya, apakah itu Ratifikasi 1969 di Papua Barat atau hanya Merupakan Notes sebagai penerimaan usulan Pemerintah Belanda dan Indonesia di Majelis Umum PBB pada tanggal 19 Desember, 1969.

(2.) Bahwa, agar Bangsa Bangsa (PBB), Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Belanda dan Amerika yang telah terlibat dalam proses aneksasi Papua Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia (NKRI) , dari "Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 yang telah terjadi administrasi serah terima Pemerintah Belanda untuk PBB Temporary Executive Authority (UNTEA) dan selanjutnya UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada Pemerintah Republik Indonesia di 1 Mei 1963, maka Indonesia untuk melaksanakan Act of Free Choice (PEPERA) pada tahun 1969 atas permintaan dari kesepakatan sesuai Internasional oleh perjanjian perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus tahun 1962, namun pada kenyataannya pelaksanaan tahun 1969 di Papua Barat bermasalah dan tidak demokratis dan penuh teror, intimidasi dan tekanan manipulasi represif oleh Pemerintah Republik Indonesia pasukan keamanan (menurut orang asli Papua); dan di sisi lain bahwa tahun 1969 di Papua Barat adalah sah dan memiliki Akhir (menurut Indonesia); maka pihak yang terlibat dalam Dialog Internasional terbuka ini dimediasi oleh pihak ketiga yang netral yang kemudian meninjau PEPERA 1969 di Papua Barat;

(3). Padahal, agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibuka ruang demokrasi untuk kebebasan Hak, sehingga Masyarakat Adat Papua Barat dapat memutuskan masa depan mereka sendiri, sesuai dengan standar hukum hak asasi manusia internasional dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Deklarasi tentang penandatanganan Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik;

(4). Itu, agar Pemerintah Negara di dunia membuat jelas kepada Pemerintah Indonesia untuk membuka akses bagi pengamat internasional, yang terutama untuk melakukan investigasi menyeluruh pelanggaran HAM yang telah dan sedang dilakukan oleh pejabat pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyat Papua dan juga memungkinkan wartawan asing untuk mengakses di Papua dan Hak Asasi manusia Lembaga Internasional melakukan penyelidikan yang menyeluruh pelanggaran hak asasi manusia, yang terjadi di tanah Papua Barat sejak tahun 1963 sampai sekarang.

S. Saran dan Penutup

Demikian, Kilas Balik Sejarah Papua ini disusun demi kepentingan pembelajaran bagi semua orang yang belum paham tentang sejarah Papua, dan lebih khusus bagi generasi muda bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea.

Penyusunan ini adalah sort History, oleh karena itu para pembaca diberikan kesempatan untuk mencari dan memperoleh buku-buku Sejarah Papua yang telah di tulis oleh orang Papua sendiri, juga oleh orang Asing dan orang Indonesia.

Yang kami tulis ini adalah versi Generasi Penerus Perjuangan bangsa Papua, berdasarkan fakta yang benar dari hasil referensi berbagai sumber. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amen.

catatan kaki:

[1] Semua sumber data yang dilengkapi dengan fakta-fakta sejarah, berdasarkan studi yang dapat dijelaskan di atas menunjukkan bahwa klaim Indonesia untuk Papua Barat adalah tidak berdasar. Klaim Indonesia didasarkan pada hubungan dengan Kerajaan Islam dan mengklaim bahwa koloni Hindia Belanda, hal itu tidak dapat ditemukan di setiap lembar sejarah. Ini adalah fakta dan realitas dalam kehidupan masyarakat selama berabad-abad.

[2] Dalam divisi dari Papua Barat dan Timur Papua ini dapat dilakukan dengan santai oleh orang asing yang datang sebagai penjajah, tanpa diketahui oleh orang-orang Papua sebagai hak-hak mereka. Tindakan ini benar-benar melanggar hak asasi manusia rakyat Papua Adat, yang memiliki tanah Papua.

[3] Belanda di Papua Barat adalah sebagai penjajah, yang telah camed untuk melakukan kegiatan kolonialisme di Papua Barat

[4] Program Decolonisasi dibahas di Majelis Umum PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA), sesuai dengan Resolusi 66 pada 14 Desember 1946 sementara meminta Negara Anggota PBB untuk segera memberikan kemerdekaan kepada Colonial Territories, yang tak berpemerintahan . Permintaan ini dengan target bahwa pada akhir tahun 1946 semua koloni harus keluar dari pendudukan. Artinya, semua koloni harus diberikan kemerdekaan tanpa kecuali.

Belanda lemah dalam membela Papua Barat untuk memberikan Hak kemerdekaan penuh, karena Belanda penuh harapan ke Amerika Serikat. Tapi harapan dan janji Amerika setuju terbalik. Ini adalah fakta yang tidak bisa menyangkal oleh siapa saja. (Buku Pekerjaan Prof. Pieter Drooglever "An Act of Free Choice tahun 1969 WWest Papua).



The End

Writed, Translated Edited and Publishing by,
Sebby Sambom
West Papuans Human Rights Defender
(Former West Papuan Political Prisoner)
 --------------------------------------------

For Justice, Peace and Freedom


[1]                        Hak-hak bangsa Papua di bagian Barat Pulau New Guinea dijamin oleh semua Hukum HAM PBB yang disebutkan di atas, dan Hukum HAM PBB ini adalah tidak dapat diganggu gugat, karena Deklarasi-deklarasi dan kovenan serta konvensi-konvensi Internasional ini telah terikat hukum tetap, yang harus dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang atau pun setiap Negara anggota PBB.

2 comments:

  1. Dalam pembahasan sejarah ini tidak di cantumkan no.448 pasal 73e tentang pengalihan administrasi dari indonesia ke belanda untuk mengatur negara west papua.

    ReplyDelete
  2. Terimakasih atas kosep sejara west papua

    ReplyDelete