Powered By Blogger

Thursday 17 January 2019

Story of Experience & Moral Message by Mrs Raga Kogoya about the Humanitarian Crisis in Nduga Papua

Pic of BBC Indonesia were intreviewed Mrs Raga Kogoya on Nduga Humanitarian Crisi

ENGLISH

Good morning, Nduga and non Nduga tribes

I want to say or tell about my experience
in 2005 at the UN Human Rights Commission office in Geneva.

At that time, I and
brother Peneas Lokbere were given the opportunity to tell about the Abepura bloodly violations in 2000 in Papua, and when I began to tell about the new violations, there was a case of the 2000 blooded Abepura, but from the time the Dutch state prepared Papuans in 1961.

The Indonesian state took over Papua and was forced to become part of the
Unitary State of the Republic of Indonesia colled NKRI. Starting from there, Papuans were killed without looking, and until now there are many cases that I cannot express one by one.

But the sudden arrival of Indonesian military members stood up and helped me by saying we Indonesian state never killed Papuans, Papuans lived comfortably with Indonesia, so sister Raga Kogeya, public deception.

And at that time I just cried and shouted as I said only God the Papuans knew who was deceitful and who spoke correctly, I cried.

Finally Mr. Victor Kaisepo and Father Mandowen below us to the Protestant Christian General Secretariat building, we met with Mr. Benny (I forgot the clan
name) he was a former lecturer at STT GKI Jayapura and also the founder of the campus and at that time he worked for the GKI synod in Papua.

At that time I was still crying, he saw that, Mr. Benny gave me a seat in the chair and persuaded me not to cry then he told me:

1.
Hi Raga, I order you must tell the Papuans, you must be free, but after the natural wealth, and the skin's hair will run out you will be released, meanwhile various countries including Indonesia are competing to explore gold and oil in Papua.

2. Papuans must unite from the government
officers up to the lower community.

3. You Papuans are sick, so the father of the same message Raga is looking for a doctor and the medicine must be a variety of ways so that the Papuans will suffer from this suffering.

After that we returned from the place to the inn, at that time I did not want to see the name of the Indonesian people even though they were my instructors and I could chase away Miss Iche who accompanied me until that night I slept alone.

Starting from the story or story of my experience, I want to say a few things
to West Papuan below:

1. I represent
West Papuan National Liberation Army (TPNPB) from shoving myself up and offering bones from 1961-2019 firmly that diplomat friends who are abroad and domestic are competing with (I am really right - I was wrong and wrongly wrong) please stop, and difference of opinion is one bullet because the West Papua National Liberation Army (TPNPB) who eats does not eat the sign of hot and rain is betting on life for the land of Papua;

2. The suffering that we experience is not a matter of eating and drinking or looking for a position, so let everything flow according to our abilities and our hearts are willing to work to separate ourselves from this Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI).

3. I am very pleading with various organs that are struggling with full and half full begging to unite and also please stop dropping each other

4. As a helpless woman, I only hope for the God of the Papuans and the Holy Spirit and
the angels who come to help us, because we want to believe who else will keep dropping each other;

5. The last one, begging the Nduga tribe not to be rich in other tribes but let us unite and fight and trust each other, I as a mo
ther was very hopeful because my childrens were cold in the forest, in prisons and in Indonesian Military and Police cells, who do you expect all of you to be if you don't.
wiwa o lei.

Thank you all for reading this
my article,
By
Mrs Raga Kogeya-Yigikwe
Papua January 16
th, 2019


INDONESUAN 


Kisah Pengalaman & Pesan Moril Ny Raga Kogoya Tentang Krisis Kemanusiaan di Nduga dan Papua

Selamat pagi Suku Nduga dan non Suku Nduga

Saya mau sampaikan atau ceritakan pengalaman saya tahun 2005 Di gedung PBB, komisi HAM di Jenewa.

Saat itu saya dan kaka Peneas Lokbere di kasih kesempatan untuk menceritakan pelanggaran Ham abe dalam tahun 2000 di papua, dan saat saya mulai ceritakan pelanggaram ham bukan baru terjadi kasus Abepura berdarah 2000 ini, tetapi dari sejak negara belanda mempersiapkan orang papua merdeka pada tahun 1961.

Negara Indonesia ambil alih Papua di paksakan menjadi bagian dari NKRI, Mulai dari situlah orang Papua di bunuh tanpa memandang, dan sampai saat ini banyak kasus yang saya tidak bisa ungkap satu persatu.

Namun tibah-tiba anggota Militer orang Indonesia berdiri dan membanta saya dengan katakan kami negara Indonesia tidak pernah membunuh orang papua, orang Papua hidup enak dengan Indonesia, jadi saudari Raga Kogeya, tipu publik.

Dan saat itu saya hanya menangis dan berteriak sambil saya mengatakan hanya Tuhan orang Papua yang tahu siapa yang tipu dan siapa yang bicara benar, saya menangis.

Akhirnya Bapak Victor Kaisepo dan Bapa Mandowen bawah kami ke gedung sekretariat umum Kristen Protestan, kami bertemu dengan Bapak Benny (saya lupa marga) beliau sebagai mantan dosen STT GKI Jayapura dan juga pendiri kampus tersebut dan saat itu beliau kerja untuk sinode GKI di tanah Papua.

Saat itu saya masih menangis, beliau melihat hal itu, Bapak Benny kasih duduk saya di kursi dan membujuk saya untuk saya tidak menangis kemudian beliau mengatakan kepada saya:

1. Raga, saya pesan kepada kamu, harus kasih tahu orang Papua, kamu pasti merdeka tetapi setelah kekayaan Alam, dan rambut kulit habis akan lepaskan kamu, sementara ini berbagai negara termasuk Indonesia sedang berlomba-lomba untuk mengexplorasi emas dan minyak di Papua.

2. Orang Papua harus bersatu dari pemerintah sampai dengan masyarakat yang bawah.

3. Kamu orang Papua itu sakit, jadi bapak pesan sama Raga cari dokter dan obat itu harus berbagai cara supaya orang Papua sembh dari penderitaan ini.
Setelah itu kami pulang dari tempat tersebut ke tempat penginapan, saat itu saya tidak mau lihat namanya orang Indonesia sekalipun mereka adalah pengajar saya dan sempat saya usir mba Iche yang temani saya hingga malam itu saya tidur sendiri.

Bertolak dari kisah atau cerita pengalaman saya ini, saya mau sampaikan beberapa hal yaitu:

1. Saya mewakili TPNPB dari sorong sampai samarai dan korban tulang belulang dari 1961-2019 dengan tegas bahwa teman-teman diplomat yangberada di luar negeri dan dalam negeri yang sedang bersaing dengan (saya benar ko benar-saya salah ko salah) tolong berhenti, dan beda pendapat jadikan satu peluru karena TPNPB yang makan tidak makan tanda hujan panas sedang taruhan nyawa demi tanah papua;

2. Penderitaan yang kami alami bukan persoalan makan dan minum atau cari jabatan, oleh sebab itu biarkan semua mengalir sesuai kemampuan kita dan hati kita mau bekerja untuk memisahkan diri dari negara keatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

3. Saya sangat memohon kepada berbagai organ yang sedang berjuang dengan penuh dan setengah penuh mohon bersatu dan juga mohon hentikan saling menjatuhkan satu sama lain

4. Sebagai seorang perempuan yang tidak berdaya, saya hanya mengharap kepada Tuhan Orang Papua dan Roh kudus serta malaikat-malaikatnya yang datang menolong kami, karena kami mau percaya sama siapa lagi kalau terus saling menjatuhkan satu sama yang lain;

5. Yang terakhir ini, mohon kepada suku Nduga jangan kaya suku lain tetapi mari kita bersatu dan berjuang dan saling percaya satu sama yang lain, saya sebagai seorang mama sangat mengharap karena anak-anak saya sedang kedinginan di hutan, di penjara-penjara dan di sel-sel Militer dan Polisi Indonesia, mereka-mereka ini mengharap kalian semua jadi siapa lagi kalau bukan kalian.
wiwa o lei.

Terima kasih Anda sekalian mau membaca tulisan saya ini,
By. Raga Kogeya-Yigikwe
Papua 16 Januari 2019

No comments:

Post a Comment